SEJARAH YOGYAKARTA

SEJARAH YOGYAKARTA


Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Daerah_Istimewa_Yogyakarta

Wilayah yang sekarang disebut Yogyakarta merupakan saksi bisu pasang surutnya kerajaan-kerajaan yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Tak heran bila mudah sekali menemukan reruntuhan bangunan kuno di sini. Candi-candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno (abad VIII - X) bisa Anda lihat dalam direktori Wisata Candi. Reruntuhan dan peninggalan Kerajaan Mataram Islam (abad XVI - XVII) ada di Kotagede. Sedangkan Kerajaan Yogyakarta yang bertahan hingga pertengahan abad ke-20 mewariskan Kraton / istana yang masih berfungsi hingga kini.

KOTAGEDE


Pada abad ke-8, wilayah Mataram (sekarang disebut Jogja / Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Candi Prambanan dan Candi Candi Borobudur. Namun pada abad ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur. Rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat.

Enam abad kemudian Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok (alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu dahulu.

Desa kecil yang didirikan Ki Gede Pemanahan di hutan itu mulai makmur. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Senapati Ingalaga. Di bawah kepemimpinan Senapati yang bijaksana desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut Kotagede (=kota besar). Senapati lalu membangun benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua benteng ini juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.

Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Senapati. Pangeran Benawa lalu menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itu Senapati menjadi raja pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.

Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam.

Peninggalan Sejarah

Dalam perkembangan selanjutnya Kotagede tetap ramai meskipun sudah tidak lagi menjadi ibukota kerajaan. Berbagai peninggalan sejarah seperti makam para pendiri kerajaan, Masjid Kotagede, rumah-rumah tradisional dengan arsitektur Jawa yang khas, toponim perkampungan yang masih menggunakan tata kota jaman dahulu, hingga reruntuhan benteng bisa ditemukan di Kotagede.

Pasar Kotagede 
Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi, namun posisinya tidak berubah. Bila ingin berkelana di Kotagede, Anda bisa memulainya dari pasar ini lalu berjalan kaki ke arah selatan menuju makam, reruntuhan benteng dalam, dan beringin kurung.  

Kompleks Makam Pendiri Kerajaan 
Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede, kita akan menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari. Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret / membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam. Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.
Masjid Kotagede
Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid tertua di Jogja / Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. Setelah itu tak ada salahnya untuk berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan kehidupan sehari-hari masyarakat Kotagede.
Rumah Tradisional
Persis di seberang jalan dari depan kompleks makam, kita bisa melihat sebuah rumah tradisional Jawa. Namun bila mau berjalan 50 meter ke arah selatan, kita akan melihat sebuah gapura tembok dengan rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan "cagar budaya". Masuklah ke dalam, di sana Anda akan melihat rumah-rumah tradisional Kotagede yang masih terawat baik dan benar-benar berfungsi sebagai rumah tinggal.
Kedhaton
Berjalan ke selatan sedikit lagi, Anda akan melihat 3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada bangunan kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah batu hitam berbentuk bujur sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk lingkaran: ITA MOVENTUR MUNDU S - AINSI VA LE MONDE - Z00 GAAT DE WERELD - COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD ATERN AM MEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - IGM (In Glorium Maximam). Entah apa maksudnya, barangkali Anda bisa mengartikannya untuk kami?

Dalam bangunan itu juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.
Reruntuhan Benteng

Panembahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri) lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling kraton, luasnya kira-kira 400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih bisa dilihat di pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki terbuat dari balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan bisa dilihat di sisi timur, selatan, dan barat.

Berjalan-jalan menyusuri Kotagede akan memperkaya wawasan sejarah terkait Kerajaan Mataram Islam yang pernah berjaya di Pulau Jawa. Selain itu, Anda juga bisa melihat dari dekat kehidupan masyarakat yang ratusan tahun silam berada di dalam benteng kokoh.

Berbeda dengan kawasan wisata lain, penduduk setempat memiliki keramahan khas Jawa, santun, dan tidak terlalu komersil. Di Kotagede, Anda takkan diganggu pedagang asongan yang suka memaksa (hawkers). Ini memang sedikit mengejutkan, atau lebih tepatnya menyenangkan. Siapa juga yang butuh pedagang asongan yang suka memaksa?

KRATON

Lonceng Kyai Brajanala berdentang beberapa kali, suaranya tidak hanya memenuhi Regol Keben namun terdengar hingga Siti Hinggil dan Bangsal Pagelaran Kraton Yogyakarta. Sedangkan di Sri Manganti terdengar lantunan tembang dalam Bahasa Jawa Kuna yang didendangkan oleh seorang abdi dalem. Sebuah kitab tua, sesaji, lentera, dan gamelan terhampar di depannya. Beberapa wisatawan mancanegara tampak khusyuk mendengarkan tembang macapat, sesekali mereka terlihat menekan tombol shutter untuk mengambil gambar. Meski tidak tahu arti tembang tersebut, saya turut duduk di deretan depan. Suara tembang jawa yang mengalun pelan bercampur dengan wangi bunga dan asap dupa, menciptakan suasana magi yang melenakan. Di sisi kanan nampak 4 orang abdi dalem lain yang bersiap untuk bergantian nembang. Di luar pendopo, burung-burung berkicau dengan riuh sambil terbang dari pucuk pohon sawo kecik yang banyak tumbuh di kompleks Kraton Yogyakarta kemudian hinggap di atas rerumputan.


Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867, bangunan Kraton Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik.

Mengunjungi Kraton Yogyakarta akan memberikan pengalaman yang berharga sekaligus mengesankan. Kraton yang menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakn Pantai Parangtritis dan Gunung Merapi ini memiliki 2 loket masuk, yang pertama di Tepas Keprajuritan (depan Alun-alun Utara) dan di Tepas Pariwisata (Regol Keben). Jika masuk dari Tepas Keprajuritan maka wisatawan hanya bisa memasuki Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil serta melihat koleksi beberapa kereta kraton sedangkan jika masuk dari Tepas Pariwisata maka Anda bisa memasuki Kompleks Sri Manganti dan Kedhaton di mana terdapat Bangsal Kencono yang menjadi balairung utama kerajaan. Jarak antara pintu loket pertama dan kedua tidaklah jauh, wisatawan cukup menyusuri Jalan Rotowijayan dengan jalan kaki atau naik becak.

Ada banyak hal yang bisa disaksikan di Kraton Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya atau melihat koleksi barang-barang Kraton. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan tersebut mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain itu, wisatawan juga bisa menikmati pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari wayang orang, macapat, wayang golek, wayang kulit, dan tari-tarian. Untuk menikmati pertunjukkan seni wisatawan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Jika datang pada hari selasa wage, Anda bisa menyaksikan lomba jemparingan atau panahan gaya Mataraman di Kemandhungan Kidul. Jemparingan ini dilaksanakan dalam rangka tinggalan dalem Sri Sultan HB X. Keunikan dari jemparingan ini adalah setiap peserta wajib mengenakan busana tradisional Jawa dan memanah dengan posisi duduk.

Usai menikmati pertunjukan macapat, YogYES pun beranjak mengitari kompleks kraton dan masuk ke Museum Batik yang diresmikan oleh Sri Sultan HB X pada tahun 2005. Koleksi museum ini cukup beragam mulai dari aneka kain batik hingga peralatan membatik dari masa HB VIII hingga HB X. Selain itu di museum ini juga disimpan beberapa koleksi hadiah dari sejumlah pengusaha batik di Jogja maupun daerah lain. Saat sedang menikmati koleksi museum, pandangan YogYES tertuju pada salah satu sumur tua yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VIII. Di atas sumur yang telah ditutup menggunakan kasa alumunium tersebut terdapat tulisan yang melarang pengunjung memasukkan uang. Penasaran dengan maksud kalimat tersebut YogYES pun mendekat dan melihat ke dalam sumur, ternyata di dasar sumur terdapat kepingan uang logam dan uang kertas yang berhamburan.

Puas berjalan mengitari Kraton Yogyakarta, YogYES pun melangkahkan kaki keluar regol dengan hati riang. Dalam perjalanan menuju tempat parkir, terlihat sebuah papan nama yang menawarkan kelas belajar nembang / macapat, menulis dan membaca huruf jawa, menari klasik, serta belajar mendalang. Rupanya di Kompleks Kraton Yogyakarta ada beberapa tempat kursus atau tempat belajar budaya serta kesenian Jawa. YogYES pun berjanji dalam hati, suatu saat akan kembali untuk belajar mengeja dan menulis huruf hanacaraka maupun belajar menari.
Sumber : www.yogyes.com

Posting Komentar untuk "SEJARAH YOGYAKARTA"